Cerpen | Buku untuk Rahma [Premium]
CERITA
ini dimulai dari jarum jam di pergelangan tangan kiri Rahma yang terus bergerak.
Jarum jam yang kulihat seolah berpacu dengan laju kendaraan yang sedang dikendarainya
itu terus melaju membelah keramaian jalan Kota Pekanbaru. Mataku kembali tertuju pada Rahma yang masih
terus melaju dengan kendaraan roda duanya, mulai melambat, lalu berhenti ketika
telah berada di depan kantor WWF Indonesia, Kantor Pekanbaru, Provinsi Riau. Dari jarum jam di pergelangan tangan kirinya,
kucoba menerka sudut pandangnya. Rahma yang kutuliskan namanya dalam kisah ini
hanyalah salah satu dari sekian nama orang yang tidak ingin kusebutkan namanya di
lembar catatanku ini. JARUM jam di tangan Rahma sudah menunjukan pukul
09.00 WIB, ketika satu persatu peserta
pelatihan yang terdiri dari perwakilan semua tim yang ada di bawah naungan WWF
Indonesia Program Sumatera itu mulai menaiki bus yang sudah terparkir di pinggir
jalan depan kantor WWF Indonesia kantor Pekanbaru.
Dari Rahma aku tahu, jika WWF Indonesia merupakan salah satu organisasi konservasi independen terbesar di Indonesia yang telah memulai kegiatannya sejak 1962 lalu.
Menurut Rahma yang saat itu duduk persis di sebelahku,
pada1998 yang lalu, WWF Indonesia resmi menjadi lembaga nasional berbadan hukum yayasan. Saat ini, WWF Indonesia
bekerja di 28 kantor wilayah di 17 provinsi di Indonesia, menjalin kerjasama
dan bermitra dengan masyarakat, LSM, media, dunia usaha, universitas, serta
pemerintah, baik di daerah maupun di pusat.
Dengan didukung oleh lebih dari 500 personil, sejak tahun 2006, WWF Indonesia mendapatkan dukungan lebih dari 64.000 suporter yang tersebar di seluruh penjuru Nusantara.
Tepat pukul 09.30 WIB, bus pariwisata dan mobil
Kijang Innova yang membawa Rahma dan peserta pelatihan lainnya, meninggalkan Komplek
Pemda Arengka. Bersamaan dengan jarum jam di tangan kiri Rahma, pelan tapi
pasti bus dan mobil Kijang Innova yang membawa Rahma dan teman-temannya itu
mulai melaju di antara jalan lintas Pekanbaru-Bangkinang, meninggalkan Pekanbaru.
Setelah menempuh perjalanan yang memakan waktu kurang lebih 3,5 jam atau sekitar 100 km dari Pekanbaru, sambil kembali melihat jarum jam di tangan kiri Rahma yang kulihat sudah menunjukan pukul 12.05 WIB, bus dan mobil Kijang Innova warna putih yang ditumpangi Rahma dan teman-temannya itu berbelok keluar dari jalan lintas Bangkinang-Payakumbuh.
Setelah menempuh perjalanan yang memakan waktu kurang lebih 3,5 jam atau sekitar 100 km dari Pekanbaru, sambil kembali melihat jarum jam di tangan kiri Rahma yang kulihat sudah menunjukan pukul 12.05 WIB, bus dan mobil Kijang Innova warna putih yang ditumpangi Rahma dan teman-temannya itu berbelok keluar dari jalan lintas Bangkinang-Payakumbuh.
Anda dapat membaca Konten Premium dengan Metode Pembayaran, silahkan berlangganan untuk lanjut membaca
Rahma dan para peserta lainnya kemudian turun dari bus yang baru saja berhenti
di areal parkir Dekotoz Villa yang terletak di daerah Binamang, XIII Koto Kampar,
Kabupaten Kampar tersebut. SAMBIL
membawa sepiring nasi beserta lauk-pauknya, kudatangi Rahma yang sedang menikmati
makan siang di pinggir kolam renang. Aku duduk disebelahnya. Kulihat, dia baru
saja selesai makan siang. Saat itu dia sedang ngobrol dengan salah seorang
karyawan Dekotoz Villa yang sedang duduk di sebelahnya. Menurut Amin, salah seorang karyawan Dekotoz
Villa yang mengaku sudah bekerja selama 1 tahun ditempat ini, danau yang ditunjuk
oleh Rahma itu bernama Danau Rusa. Danau Rusa sendiri adalah danau buatan yang
menurut sejarah, dulunya adalah 9 desa yang sengaja di tenggelamkan untuk
membuat Waduk Koto Panjang ini. Waduk Koto Panjang sendiri sampai saat ini
masih dipergunakan sebagai Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA) untuk mengaliri
daya listrik untuk Riau yang terkoneksi ke jaringan listrik di Sumatra. Selesai makan siang, aku kembali ke pinggir
kolam renang di mana Rahma dan Amin tadi berada. Sambil membakar sebatang
rokok, aku kembali mendengarkan percakapan antara Rahma dan Amin. Menurut Amin,
selain dijadikan sumber PLTA, Waduk Koto Panjang juga menjadi sumber pendapatan
warga tempatan. Salah satunya dipergunakan untuk usaha keramba ikan air tawar. Kulirik jarum jam ditangan kiri Rahma yang sudah
menunjukan pukul 13.00 WIB. Sesuai jadwal, dia dan peserta pelatihan yang
berjumlah 30 orang itu harus segera mengambil peralatannya, seperti laptop, buku tulis, dan lain sebagainya. “TUJUAN diadakan pelatihan
menulis ini adalah untuk menggali dan mengembangkan potensi dari teman-teman semua,
yang selama ini lebih banyak fokus di lapangan. Aku tahu, sebenarnya banyak sekali
di antara teman-teman memiliki pengalaman yang begitu menarik untuk
diceritakan. Dan seperti yang aku tahu, selama ini teman-teman selalu
kebingungan setiap kali pulang dari lapangan, sebenarnya data-data yang telah
didapatkan di lapangan itu untuk apa? Dan bagaimana caranya menuangkan apa yang
kita lihat, kita dengar, dan kita rasakan ketika di lapangan itu menjadi sebuah
tulisan yang menarik untuk dibaca? Diharapkan, setelah kita melakukan pelatihan menulis ini,
teman-teman semua lebih termotivasi lagi untuk menuangkan apa yang kita lihat,
kita dengar, dan kita rasakan ketika di lapangan ke dalam satu bentuk tulisan,"
kata Staf komunikasi WWF Indonesia Program Sumatera Tengah, Syamsidar, ketika
memberikan kata sambutan pada acara pembukaan pelatihan itu. Aku duduk di sebelah Rahma, yang kulihat sengaja memilih tempat duduk di
meja tengah ruang pertemuan aula Dekotoz Villa itu. Katanya, agar bisa lebih
menyimak dan menyerap setiap kata demi kata yang akan diucapkan oleh
pematerinya nanti. Ternyata sosok pria berbadan tegap mengenakan topi yang tadi
kulihat ikut memasuki aula Dekotoz Villa itu adalah orang yang akan mengisi materi
pada pelatihan menulis saat itu. Namanya Hary B Kori’un. Dia adalah Editor
In Chief (Pemimpin Redaksi) www.riaupos.co dan Majalah SWARNADWIPA yang sengaja
didatangkan ke tempat ini untuk membagikan ilmu dan pengalamannya selama
bergelut di dunia jurnalistik. “Ada beberapa hal yang harus diperhatikan dalam menulis. Antara lain,
yang perlu dilakukan oleh seorang penulis adalah menaati aturan ejaan yang
berlaku, yakni Ejaan Yang Disempurnakan (EYD). Sekarang namanya Ejaan Bahasa
Indonesia (EBI). Dalam jurnlistik,
kalimat aktif harus diutamakan yang ditandai dengan penggunaan prefiks ‘me-‘
dan ‘ber-‘, kecuali pada judul berita,” kata lelaki yang biasa dipanggil
HBK itu setelah memperkenalkan dirinya serta meminta para peserta pelatihan juga memperkenalkan
dirinya masing-masing. Selanjutnya dia menjelaskan bahwa
bahasa jurnalistik adalah bahasa komunikatif. Artinya, bahasa jurnalistik harus dapat dipahami dengan
mudah oleh pembaca. “Dan informasi yang diberikan itu haruslah teliti, ringkas,
jelas, mudah dimengerti, dan menarik,” katanya lagi, sambil kembali memberikan
contoh-contoh kalimat yang biasa dipakai di dalam dunia jurnalistik. Dia juga menjabarkan bahwa tulisan feature yang baik itu haruslah memiliki lead yang memikat, tubuh tulisan yang tak bertele-tele, serta memiliki penutup yang menarik.
“Yang harus dipahami, menulis itu bisa dipelajari dengan tekun dan
terus-menerus. Saya yakin, setelah keluar dari pelatihan ini, Anda tak akan
langsung bisa menulis dengan baik. Anda harus terus berlatih,” ujarnya lagi. SETELAH
tiga hari berkumpul, bermain sambil menimba ilmu bersama, tibalah waktunya bagi
para peserta pelatihan ini untuk segera kembali kerumah dan keluarganya
masing-masing dimana mereka sebelumnya berada. Mungkin, sebelum diadakan pelatihan ini, banyak
peserta yang hanya tau nama, tanpa kenal wajah, begitupun sebaliknya, ada juga yang
hanya tau wajah tapi tidak kenal nama. Maka kebersamaan selama tiga hari itu rasanya
cukuplah untuk mengikat dan mempererat
tali persahabatan diantara mereka. Kututup buku catatanku. Rahma mengambil buku
novel pemberian Hary B Kori’un dari dalam tas di sebelah tempat duduknya.
Sambil membuka lembaran pertama, kulihat dia mulai membaca. Hary B Kori’un adalah alumni Jurusan Sejarah
Fakultas Sastra Universitas Andalas (Unand) Padang, yang juga seorang penulis
novel dan cerita pendek. Cerpen-cerpennya dimuat di beberapa media seperti Sinar Pagi, Mutiara, Singgalang, Haluan,
Sriwijaya Post, Riau Pos, Pekanbaru Pos, Riau Mandiri, Suara Riau dan
beberapa media lainnya. Di antara gemuruh air hujan yang tadi sempat
mereda ketika para peserta pelatihan satu persatu menaiki mobil bus yang akan
kembali membawa mereka ke Kota Pekanbaru, di antara jalan berliku di lintas
Payakumbuh-Bangkinang, perlahan kucoba rebahkan punggungku di bangku kursi sebelah
Rahma yang kulihat mulai asyik membaca novel di sampingku. Di antara derasnya air hujan yang mengguyur sepanjang
jalan lintas Payakumbuh – Bangkinang, aku sadar, bahwa apa yang dilakukan oleh Rahma
dan teman-temannya itu adalah sebagai
salah satu upaya untuk mencegah negara ini dari bencana alam yang seringkali di
sebabkan oleh kelalaian umat manusia. Rahma dan teman-temannya
itu, hidup dan tinggal di negara yang dilintasi garis khatulistiwa dan berada
di antara daratan Benua Asia dan Australia. Sebuah negara yang menjalankan
pemerintahan republik presidensial multipartai yang demokratis dengan populasi
hampir 270.054.853 juta jiwa pada tahun 2018. Dan ini
bukanlah catatan terakhirku tentang mereka. Di antara suara alunan musik yang
mengalun pelan di dalam bus yang membawa Rahma dan teman-temannya, sebelum
memejamkan kedua mataku, sekali lagi aku percaya, jika semua pihak dapat
menjalankan perannya dengan baik, maka harapan untuk dapat menjaga kelestarian
satwa dan keseimbangan ekosistem dapat terwujud. Dan ke depan,
seperti pesan sengaja dituliskan oleh Hary B Kori’un di lembar pertama buku
novel yang diberikan kepada para peserta pelatihan kemarin, aku, Rahma dan
mereka-mereka yang ada di dalam kisah yang kuceritakan ini akan terus
menyuarakan dalam bentuk yang lainnya, agar
kelestarian satwa dan keseimbangan ekosistem dapat terwujud.
Silahkan Scan QR Kode untuk Pembayaran lewat DANA